Pada awal bulan Mei 2019 lalu, saat saya masih di kantor, suami menelepon meminta izin untuk meminjamkan uang pada sepupunya (sebut saja Panji, bukan nama sebenarnya). Panji sangat butuh uang namun tidak bisa menarik uangnya karena ATM isterinya terblokir. Sedangkan buku tabungannya tercecer entah di mana. Ia berjanji, akan mengembalikan uang yang dipinjamnya satu minggu kemudian.
Mendengar alasannya, saya pun mengizinkan suami untuk meminjaminya uang. Lagipula Panji ini orangnya ringan tangan dan suka membantu suami, rasanya tidak ada alasan untuk menolak permintaannya. Tak sampai lima menit, uang yang diminta pun ditransfer ke rekening istri Panji.
Satu minggu berlalu. Rupanya janji yang diucapkan tak ditepati. Sejak saat itu Panji mulai menghindar. Saya meminta suami untuk menagihnya namun Panji semakin menghindar. Pesan yang dikirim suami tidak pernah dibaca.
Hari berganti dan janji yang terucap tak kunjung ditepati. Saking seringnya di-php, suami jadi malu untuk menagih. Suami
jadi tak enak hati meminta uang yang sudah dipinjamkannya. Saya jadi gregetan dibuatnya. Kok jadi yang punya uang yang merasa malu dan tak enak hati sedangkan yang meminjam malah asyik-asyik saja?
Lalu tibalah hari itu, hari dimana kami mendengar kabar Panji jatuh pingsan saat mengikuti pawai ulang tahun kabupaten Buton Tengah. Ia segera dilarikan ke puskesmas namun sayang Tuhan berkehendak lain, ia meninnggal dunia.
Saya sempat bertanya pada suami, bagaimana hutang Panji, siapa yang akan melunasinya? Jujur saja, saya tidak bisa merelakan uang itu karena nominalnya memang lumayan besar untuk ukuran kami. Kami bukanlah keluarga sultan yang bisa dengan mudah merelakan uang senilai Rp. 8juta untuk diberikan kepada orang lain begitu saja. Kalau nominalnya 1 atau 2 juta, mungkin saya bisa ikhlas, tapi 8 juta? ohhh rasanya berat sekali
Saya meminta kepada suami agar menanyakan kejelasan utang piutang ini kepada istri almarhum. Saya yakin dia tahu masalah ini karena uang yang dipinjam suaminya ditransfer ke rekening sang istri. Karena masih berkabung, kami harus menunggu namun tak boleh terlalu lama, kasihan saya yang punya uang dan kasihan pula almarhum yang kelak tertahan di alam sana karena masih memiliki hutang di dunia.
40 hari berlalu dari kematian Panji dan suami bertanya kepada sang istri perihal hutang piutang yang ditinggalkan suaminya. Sang istri malah mengajukan pertanyaan balik, benarkah hutang suaminya belum lunas? Karena menurut istrinya, sebelum meninggal Panji memberitahu istrinya tidak usah lagi memikirkan hutang tersebut, biar nanti diurusnya. Jadi istrinya berpikir hutang tersebut sudah lunas.
Mendengar jawaban itu, emosi saya tersulut. Apa maksud perkataan sang istri? Apakah ia menuduh kami berbohong? Harga diri saya serasa diinjak-injak. Ingin rasanya menangis mendengar perkataan itu. Menagih uang sendiri kok susahnya minta ampun, huhhuhu
![]() |
pic source: pixabay.com |
Saya ultimatum suami, bagaimana pun caranya uang yang sudah dipinjamkan itu harus balik. Saya tidak pernah berniat memberikan uang itu secara cuma-cuma karena untuk mengumpulkan uang itu butuh waktu beberapa bulan hingga mencapai nominal seperti itu..
Suami sudah malu untuk menagih hutang tersebut. Suami makin tidak enak hati karena status istri Panji adalah janda yang tidak memiliki penghasilan. Suami merasa kasihan, namun saya bergeming. Saya memaksanya untuk terus menagih dan alhamdulillah membuahkan hasil. Pada bulan Desember 2019, sang istri menelepon suami saya dan meminta untuk membayar setengah dari nilai hutang mereka.
Sebenarnya saya tidak mau hutang tersebut dibayar dengan cara dicicil karena saya meminjamkan mereka secara cash. Uang Rp. 8juta langsung saya berikan beberapa saat setelah diminta, namun mereka hendak mebayar dengan cara mencicil? Huhuhu saya tidak sudi. Entahlah, dalam pikiran saya, hutang dicicil itu enak di orang yang menghutang namun tekor di pemberi hutang, namun karena memikirkan kondisi istri Panji, saya iyakan saja. Saat itu ia membayar Rp. 5jt. Ia berjanji sisanya yang Rp. 3jt akan dilunasinya beberapa bulan kemudian.
Hari berganti dan kini kita sudah masuk di April 2021, sisa hutang yang Rp. 3jt itu belum dibayar juga. Dan beberapa saat lalu, istri Panji sudah menikah lagi. Saat menerima undangan pernikahannya, saya menyuruh suami untuk ke rumah Panji menanyakan perihal sisa utangnya. Dalam hemat saya, sebelum menikah, harusnya si istri menyelesaikan tunggakan suaminya yang terdahulu dulu, tapi suami saya lagi-lagi tidak enak hati karena saat istri Panji datang ke rumah mengantar undangan pernikahannya, ia sempat melontarkan kata bahwa ia tidak punya uang.
Huhuhu apakah itu pertanda bahwa sisa hutang yang Rp. 3jt itu tidak akan dibayarnya? Jujur saja, saya masih tetap sama, tidak bisa mengikhlaskan uang itu, tapi melihat gelagat suami yang sepertinya sudah malas membahas hal ini saya jadi pesimis uang itu bakalan balik ke saya.
Suami merasa malu menagihnya karena setiap kali hendak ke rumah istri Panji, belum sempat mengutarakan niatnya menagih hutang, si istri sudah menyatakan tidak punya uang. Suami jadi mati gaya, tidak tahu harus ngomong apa dan unjung-ujungnya pamit pulang tanpa sempat menagih.
Menurut teman-teman, pendekatan apa yang harus kami lakukan agar piutang kami bisa kembali? Suami pernah meminta saya untuk menagih hutang itu, tapi saya juga sebelas-dua belas dengannya alias tidak enakan, walau sempat kerja di leasing tapi saya tidak punya kemampuan menagih hutang.
Saya tidak terbiasa menagih hutang karena sebelum-sebelumnya, kawan-kawan saya yang meminjam uang selalu melunasinya sesuai tenggat waktu yang dijanjikan dan lunasnya sesuai nominal yang dipinjam, tidak pernah dicicil. Saya tidak pernah berurusan dengan orang yang seperti ini. Ini menjadi pelajaran yang sangat berharga agar hati-hati meminjamkan uang pada orang lain, terlebih bila nominalnya besar (menurut ukuran kita)
Haruskah saya mengikhlaskannya? Tapi rasanya hati ini sangat berat. Salahkah saya yang berharap uang saya kembali?
Lakudo, 26 April 2021